Posted in

Istana Respons Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Biarkan Sejarawan Menulis

Istana Respons Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Biarkan Sejarawan Menulis

Published on: Mon, 16 Jun 2025 07:18:09 +0000

Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi berbicara dalam forum diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (10/5/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi berbicara dalam forum diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (10/5/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menilai persoalan penulisan sejarah biar diserahkan kepada para sejarawan. Hal itu disampaikan Hasan menanggapi polemik terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai pemerkosaan massal 1998.

Ia meminta publik untuk memberikan waktu terhadap para sejarawan untuk menuliskan ulang sejarah Indonesia.

"Ini kan sekarang semua dalam proses dan dalam proses ini terlalu banyak spekulasi-spekulasi yang menyatakan ini tidak ada, ini ada, coba kita biarkan para sejarawan ini menuliskan ini," kata Hasan di kantor PCO, Jakarta Pusat, Senin (16/6).

Menurut Hasan, publik nantinya bisa mengawasi para sejarawan. Juga melakukan koreksi terhadap apa yang mereka tulis.

"Dan untuk nanti kita pantau kita pelototi kita periksa bareng-bareng," ujarnya.

Hasan mengatakan para sejarawan yang terlibat dalam penulisan sejarah merupakan sejarawan yang memiliki kredibilitas tinggi. Hasan memandang mereka tentu tidak akan mengorbankan kredibilitas mereka untuk hal-hal yang tidak perlu.

"Jadi kekhawatiran kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi tapi jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia," kata dia.

Saat ditanya apakah Prabowo memberikan atensi terhadap pernyataan Fadli Zon yang ramai diperbincangkan, Hasan tidak menjawab. Ia mengaku belum punya informasi perihal tersebut.

Namun, Hasan menegaskan pemerintah terbuka terhadap kritik dan masukan atas penulisan sejarah oleh Kementerian Kebudayaan

"Kalau ada kritik dan masukan silakan, tapi kalau hanya pergunjingan-pergunjingan di media sosial ya, citra-citra negatif yang seperti yang Anda sebutkan, apalagi dari orang-orang yang kalau dia megerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah," tandas dia.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan

Penjelasan Fadli Zon

Sebelumnya, Fadli Zon menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 memang menimbulkan banyak perspektif, termasuk terkait istilah “perkosaan massal” yang hingga kini masih diperdebatkan. Ia menilai penggunaan istilah tersebut perlu kehati-hatian karena tidak disertai data kuat seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, atau pelaku dalam laporan TGPF.

Meski begitu, ia menegaskan tidak sedang menegasikan keberadaan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik pada masa lalu maupun masa kini.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli dalam keterangannya, (16/6).

“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegasnya.

Fadli menjelaskan pernyataannya bukan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual, namun untuk menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” jelas Fadli.

Menurutnya, istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan

13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujarnya.

Source: KapanLagi.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *